Di Balik Senyumnya
Gerbang Sekolah yang Mengintimidasi
"Aneh, seharusnya gerbang sekolah adalah pintu ke dunia lain yang indah, pintu mengenal dunia dan pengetahuan bagi warga sekolah terutama guru dan para siswanya," gumam Bu Fatma dengan suara yang hampir tidak terdengar. Aku hampir tidak mendengar gumamannya, tetapi saat ia menoleh kepadaku, senyumnya yang manis tiba-tiba menghiasi bibirnya. Ia menganggukiku lalu berlalu dengan sepedanya, sepeda yang sudah menemani dia selama empat tahun mengantar putrinya, Siti Muzdalifah Handono, yang manis dan salehah. Aku memahami apa yang ia gumamkan. Gerbang sekolah itu memang tempat yang membuat Ibu Fatma merasa tidak nyaman. Di sana, ibu-ibu penjemput anak sering berkumpul dan berbicara tentang hal-hal yang tidak penting, sehingga suasana di sekitar gerbang terasa tegang dan tidak menyenangkan. Bagi Ibu Fatma, gerbang sekolah itu adalah tempat yang harus dihindari. Aku, sebagai salah satu staff di sekolah ini, juga merasa penasaran tentang hal ini.
Aku masih tidak bisa memahami mengapa gerbang sekolah harus menjadi tempat berkumpulnya ibu-ibu untuk berbagi cerita dan informasi. Apalagi, kadang-kadang pembicaraan mereka terdengar berlebihan dan tidak penting. Mereka sering terlihat berbisik-bisik, seolah-olah merencanakan sesuatu yang rahasia. Bahkan, aku merasa seperti mereka sedang mempersiapkan sebuah serangan terhadap kami, para guru. Aku merasa bergidik dan cepat-cepat berlalu dari gerbang sekolah itu, tidak ingin terjebak dalam suasana yang tidak nyaman.
Ah, apa yang aku pikirkan? Pikiranku terlalu parno terhadap ibu-ibu wali muridku. Tiba-tiba, sosok Bu Fatma muncul di depan mataku. Hmm, kalau dipikir-pikir, aku tak pernah melihat sekalipun ibu Fatma ikut duduk di gerbang tempat ibu-ibu itu berkumpul. Bahkan, ia terkesan terburu-buru membalikkan sepedanya, seperti orang yang enggan dihentikan oleh temannya untuk diajak ngobrol.
Pikiranku pun jadi terfokus padanya, dan seribu pertanyaan berkecamuk di otakku. Aku bertanya-tanya, apa yang membuatnya begitu berbeda dari ibu-ibu lainnya? Apa yang membuatnya begitu tidak ingin bergaul dengan mereka? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengganggu pikiranku, hingga aku sadar bahwa aku harus fokus pada pekerjaan di sekolah. Pikiranku tentang pekerjaan saja sudah memenuhi pikiranku, apa lagi jika aku terus memikirkan hal-hal yang tidak penting?
Siti Muzdalifah Sakit
Bayanganku tentang dampak ngumpulnya ibu-ibu di gerbang sekolah ternyata menjadi kenyataan. Aku seperti orang yang sedang menunggu sandiwara yang akan segera diputar. Siti Muzdalifah sakit! Berita sakitnya pun tidak luput dari obrolan di gerbang sekolah. Berita simpang siurpun segera tersebar bahwa Siti Muzdalifah sakit perut hebat dan dilarikan ke puskesmas setelah makan mi di kantin sekolah.
Tidak jelas siapa yang pertama kali menyebarkan berita itu, karena berita itu menyebar dengan sangat cepat. Hingga seperti barisan huruf-huruf yang berantakan dan tidak bisa dibaca siapa yang mengatakannya. Akhirnya berita itu sampai juga ke telinga ibu kantin.
***
Aku baru saja tiba di gerbang sekolah pagi itu. Aku tidak melihat ibu Fatma mengantar Siti. Biasanya, jam mengantar Siti oleh ibu Fatma selalu bersamaan dengan jam kedatanganku di sekolah. Sudah seperti 'jam rutin gerbang' dan itu hampir terjadi setiap hari, alias 6 hari dalam seminggu.
Aku memarkir motorku, menyapa ibu-ibu yang sedang ngumpul di gerbang setelah anaknya masuk kelas. Menyapa sekilas dan langsung masuk kantor, tanpa ingin terlibat dalam percakapan mereka. Aku tidak ingin bergabung dengan mereka dalam obrolan yang terkesan asyik.
Baru saja aku melangkah masuk ke kantor, suara sedikit gaduh dan saut menyaut membuatku menoleh ke belakang ke arah gerbang yang tepat di depan kantor kami. Disana ada ibu kantin yang berdiri sambil sedikit memberanikan diri bertanya pada ibu-ibu tentang berita sakitnya siti.
Aku yang sudah lama mengamati kejadian-kejadian di gerbang, sekarang seperti disuguhi lanjutan cerita yang sebenarnya aku sama sekali tidak menyukai cerita itu.
Ibu kantin merasa difitnah dan ingin mengkomfirmasi siapakah diantara ibu-ibu yang mengatakan bahwa sakitnya Siti karena makan mi di kantin sekolah. Suaranya pelan, seolah-olah tidak ingin mengganggu pihak sekolah. Seorang ibu malah nyolot: 'Ibu nuduh kami tukang fitnah!' Mendengar itu, ibu kantin sedikit meninggikan suaranya, dan mereka pun saling sahut-menyahut. Untung belum banyak warga sekolah yang datang, sehingga pemandangan yang tidak mengenakkan itu tidak dikonsumsi oleh banyak orang.
Ibu-ibu itu pun akhirnya bubar, karena suasana yang tidak nyaman telah menghantui mereka.
Beberapa hari kemudian, gerbang sekolah menjadi sepi. Mungkin peristiwa ibu kantin minta kejelasan membuat ibu-ibu tidak nyaman dan tidak mau lagi berkumpul di gerbang sekolah.
***
Hari cukup panas, kipas di kantor tidak cukup mendinginkan kami. Ponselku berbunyi, dan aku membaca pesan WhatsApp dari nomor yang tidak aku simpan. Aku tidak tahu dari siapa, sepertinya salah satu wali murid karena kulihat nomor itu satu grup di grup sekolah. Pesan broadcast rupanya, dibawahnya ada beberapa screenshot dari pesan orang lain."
Kantor terasa semakin panas setelah aku membaca pesan itu. Aku merasa tidak suka membaca pesan itu, karena aku tidak suka pesan broadcast apalagi pesan screenshot. Entah kenapa, tapi aku memang tidak suka. Itu seperti semacam pesan provokasi menurutku. Jadi, meskipun berita itu baik, jika bentuknya BC atau SS, aku sudah memiliki prasangka negatif sejak awal.
Beberapa guru datang, dan salah satu dari mereka berbicara kepadaku tentang pesan BC yang ia terima. Isinya sama seperti yang ada di ponselku. Kami pun berdiskusi tentang pesan BC dan SS itu. Aku belum membacanya karena tidak tertarik. Isinya kata teman guru adalah tentang salah satu wali murid yang difitnah oleh salah satu ibu guru karena menitip makanan di kantin dengan harga yang mahal. Apa lagi ini? Guru yang mana lagi jadi tukang fitnah, apakah guru sudah beralih profesi dari tukang mengajar menjadi tukang fitnah? mulai disinggung? Mengapa sekarang ada pusat gosip baru di luar pintu gerbang? Apakah pintu gerbang tidak cukup untuk membuat masalah sehingga harus mengembangkannya sampai ke kantin pula?
Rupanya sepinya gerbang beberapa hari ini tidak menyurutkan beredarnya berita dan gosip-gosip di sekolah. Nyatanya, pesan BC dan SS lebih efektif dalam menyebarkan berita yang aku pikir bisa mengganggu stabilitas.
Menjenguk Siti
Salah satu ibu guru menjenguk Siti. Sudah hampir seminggu Siti tidak sekolah, dan gosip-gosip, baik tentang Siti maupun yang lainnya tetap bergulir silih berganti. Sebagian di mediasi sekolah untuk menyelesaikan, dan sebagiannya dibiarkan beredar tanpa penyelesaian. Ya, aku pikir jika sekolah selalu memediasi konflik, maka aku akan sering terlibat dalam rapat mediasi, dan tentu saja itu merupakan tambahan pekerjaan dari pekerjaan-pekerjaan yang sudah menumpuk di meja kantorku.
Aku menemani ibu guru untuk menjenguk Siti. Ibu guru dan aku sampai di rumah Bu Fatma. Rumahnya asri dan sejuk. Halamannya ditumbuhi bunga-bunga beraneka macam tertata rapi. Ada beberapa jenis anggrek dan juga Bougenville dengan aneka warna. Aku sangat senang melihatnya, karena aku juga suka bunga. Kami disambut ramah oleh Bu Fatma, dipersilahkan masuk dan duduk. Siti masih terbaring lemah di tempat tidurnya. Bu Fatma bercerita bahwa Siti sudah menderita sakit di bagian perutnya sejak masih TK. Sekarang ia sudah kelas 4, jadi sudah hampir 5 tahun.
"Ada daging tumbuh di perutnya yang harus diangkat tetapi itu harus menunggu hingga Siti kuat." cerita bu Fatma.
Aku merasa simpati.Aku bertanyata kepada Bu Fatma apakah Siti sakit bukan karena makan mi di kantin."tidak" jawab Bu Fatma singkat."Siapa yang bilang"katanya lembut sambil sellau tersenyum kepada kami. "memang bu fatma tidak tau?tanyaku.Ia tersenyum, senyumnya menyejukanku.Dan aku berharap ia memang tidak tahu kalau telah beredar gosip tentang sakitnya Siti.Aku bertanya lagi hati hati takut menyinggungnya."Bu Fatma kenapa tidak menunggu Siti bersama ibu ibu di gerbang sekolah ?
Bu Fatma tersenyum mendengar pertanyaanku. Lagi-lagi, senyumnya yang manis dan menyejukanku. Senyum yang mengusir rasa bergidikku membayangkan suasana gerbang sekolah.
Aku semakin penasaran dengan senyumannya. Apa gerangan pandangan dan pendapat Bu Fatma tentang ibu-ibu yang suka bergosip di gerbang sekolah
Beliau melipat tangannya dan meletakkan di atas pahanya sembari kadang menunduk dan kadang menatapku seolah ingin berbicara dan menjelaskan pendapatnya dengan perasaan enggan.Aku terkesima.Seumur hidupku menjadi guru, baru sekarang aku bertemu wali murid yang bersikap sopan dan seperti ragu ragu berbicara denganku.Biasanya aku adalah guru yang tidak berani berbicara dengan wali murid.Seperti ada trauma sejak aku dicap sebagai guru tidak berperikemanusiaan karena salah memberi nilai nol kepada siswaku.Dan trauma itu sekaligus membuatku tidak bisa menuliskan angka nol di lembar kertas muridku.Minamal nilai yang aku berikan adalah 60 bahkan jika jawaban siswa salah semua.Dan berita tentang aku guru tidak berperikemanusiaan juga aku dapatkan dari BC dan SS salah seorang wali murid yang selalu baik padaku.Ah sudahlah .
Aku balik menatap Bu Fatma dan menganggukan kepala berharap ia akan berbicara sedikit tentang pendapatnya dan mengapa ia tidak pernah ada disana menunggu Siti belajar hingga pulang sekolah.
Komentar
Posting Komentar