Iri

 


Aku mendengar dengan seksama apa pesanan ibuku hari ini. Cangkir porselen ukuran kecil, gula pasir sekilo ukuran seperempatan, dua buah teh celup merek Tongji, serenceng kopi susu, serenceng kopi mix, dan juga gula batu. Ahir-ahir ini, sejak sakit, ibuku jika minta sesuatu selalu mengingatnya secara detail dan akan mengulang-ulang apakah permintaannya sudah ada.


Seperti kemarin pagi, beliau minta agar berkas-berkas untuk persiapan hajinya segera difotocopy. Aku akan segera melaksanakan, pergi ke tukang fotocopy jika tidak, maka permintaan itu juga akan diulang-ulang sampai fotocopy itu tersedia di hadapan beliau. Meskipun aku tidak yakin apakah ibuku akan lulus screening saat pemeriksaan kesehatan nanti, aku akan melakukan yang terbaik untuk ibuku, karena hanya itu, hanya hal-hal kecil yang bisa kulakukan untuk ibuku sebagai anaknya yang penuh dengan keterbatasan.


Untuk efisiensi, aku memesan barang-barang itu sebagian secara pesan antar. Kebetulan tukang fotocopy juga temanku saat SMP dulu. Aku bertanya padanya apakah tokonya bisa pesan antar hasil fotocopy pelanggan dan aku memesan padanya jika bisa agar mampir ke rumah dan kemudian mengantar kembali jika sudah jadi. Syukurlah itu bisa.


Di sore hari, temanku datang dengan semua berkas lengkap ibuku. Kami duduk di serambi teras rumah ibuku, bercerita ngalor-ngidul. Aku bertanya tentang ketiga anaknya yang dulu aku suka ikut mengasuhnya bareng sama mengasuh anak-anakku. Tomi, anaknya yang paling besar, yang dulu selalu dia banggakan tidak punya pekerjaan tetap, kerjanya serabutan. Dia nampak sangat menyesal saat menceritakan itu padaku. Rona mukanya sedih dan tidak bersemangat.


Giliran anak kedua, aku bertanya sambil mengingat-ingat tubuhnya yang menggemaskan waktu masih kecil, sekarang pasti sudah gadis dan cantik seperti ibunya. "Kerja di perusahaan asing," katanya bersemangat. Matanya berbinar. Ya, aku ingat dulu, Tita memang gadis kecil yang bukan hanya menggemaskan tapi juga pintar dan cerdas. Tak heran jika kuliahnya juga di universitas ternama dengan jalur beasiswa dan lulus langsung bekerja di perusahaan bonafit.


Anak ketiga, Siska, baru lulus kuliah di universitas ternama di Jogja. Jurusannya juga keren. Ia kuliah juga dengan jalur beasiswa. Aku tercenung, wajahku seperti terkena strok. Aku iri. Pikiranku menelusuri anakku satu persatu. Semua hanya lulusan SMA dan mereka sibuk mengajar di madrasah, sibuk mengambil sanad dan menghafal Al-Qur'an. Bekerja dan mencari uang ala kadarnya. Bahkan belum bisa membantuku banyak untuk keperluanku sehari-hari.


Tidak seperti anak teman fotokopiku yang sukses secara finansial dan sering membantu uang untuk orangtuanya, yang sepertinya dia mewajibkan anaknya untuk hal itu. Tidak seperti aku yang selalu menggunakan falsafah ibuku: "Mengharap harta dari anak ibarat durian, jangan kamu sogrok durian yang masih mentah. Tunggulah itu sampai masak di pohon dan jatuh, itu akan lebih nikmat," kata mamaku mengutip perkataan ayahnya alias kakekku. Itu seperti falsafah turun-temurun.


Setelah teman fotokopiku pulang, aku menggelosor di kasur, memikirkan anak-anakku. Mereka sedari kecil adalah anak-anakku yang manis, tidak pernah durhaka kepada orangtuanya, kenakalan yang dilakukan hanya sewajarnya kenakalan anak. Tidak pernah menyusahkan aku dan melanggar perjanjian kami.


Aku rasa aku akan merasa sangat bersalah jika rasa iri itu menyelinap dengan keras dalam hatiku. Untungnya itu hanya menyelinap secara halus mengisi relung hatiku karena terbawa emosi temanku yang menceritakan anak-anaknya. Aku beristighfar. Aku bersyukur kepada Allah. Aku tenang. Seperti air dalam gelas yang bergejolak karena tempatnya tersentuh. Kini gelas itu telah tenang kembali setelah berdiri tegak. Airnya masih tetap putih meski sedikit berdebu.


Hanya refleksi diri, jangan diambil hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anakku, Ampuni Ibumu

Silabus Al Muyassar