Bergembira di Hari Raya ( 1 )
Sebenarnya saya sangat menikmati saat saya menterjemah sebuah tulisan yang panjang. Bahasa Arab begitu indah, bahkan saat menjelaskan dalil ataupun rujukan sebuah tulisan tetaplah indah, itu sangat sayang untuk dilewatkan. Tetapi kalian mungkin akan bosan membacanya. Oleh karena itu saya buat lebih ringkas tetapi tidak terlepas dari substansinya. Saya juga akan membuat tulisan aslinya dengan berbahasa Arab dan terjemahnya insyaallah untuk rujukan. Hayya binaa...
Bergembira yang Terpuji dan Tercela
Sesungguhnya umat Islam memiliki dua hari raya setiap
tahunnya, tidak ada yang ketiga. Kedua hari raya tersebut datang setelah
ibadah: puasa, haji, dan di dalamnya ada ibadah-ibadah yang agung seperti
sedekah, kurban, dzikir kepada Allah. Dan di dalamnya ada kegembiraan yang
dibatasi oleh apa yang telah diizinkan oleh syari'at yang bijak.
Kita adalah hamba-hamba Allah di bumi-Nya. Kita beramal
sesuai dengan apa yang telah disyari'atkan, bukan sesuai dengan apa yang kita
inginkan dan kehendaki. Dan kegembiraan ada dua jenis: yang terpuji dan yang
tercela.
Yang terpuji adalah kegembiraan karena sesuatu yang
telah disyari'atkan, seperti: kesempurnaan ibadah, i’anah atau bantuan
dalam ibadah, memperoleh ilmu, harta, anak, kesehatan, dan lain-lain.
Kegembiraan yang sesuai dengan syari'at Allah.
Yang tercela adalah bergembira
dengan yang haram, bathil, bodoh, dan berpaling dari Allah. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku sombong terhadap mereka. Dan Kami telah memberikan kepadanya harta yang banyak, sehingga kunci-kunci gudangnya (yang berat) dibawa oleh sekelompok orang yang kuat. Ketika kaumnya berkata kepadanya, 'Janganlah kamu terlalu gembira, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu gembira.'" (QS. Al-Qashash: 76)
Sesungguhnya sebagian orang ketika mendengar izin untuk
bergembira dan merayakan, mereka mengira bahwa hal-hal yang sebelumnya
diharamkan sekarang telah diizinkan, sehingga mereka meninggalkan diri mereka
sendiri dan apa yang mereka inginkan, dan meninggalkan anak-anak mereka apa
yang mereka inginkan, dan mereka berdalih dengan alasan hari raya =
kegembiraan.
Bergembira dengan Bernyanyi
Asal dari kegembiraan dan menunjukkannya pada hari raya
sebagaimana yang diriwayatkan dalam "Shahihain" dari Aisyah -
radhiyallahu 'anha - yang berkata: "Abu Bakar masuk kepadaku... dan ada
dua gadis dari kaum Anshar yang bernyanyi tentang apa yang terjadi pada kaum
Anshar pada hari Bu'ats, dia berkata: "Mereka tidak bernyanyi dengan
nyanyian yang tidak sopan.
Yang dimaksud adalah nyanyian yang indah dan memperindah
suara, tanpa kata-kata yang tidak sopan dan alat-alat musik yang diharamkan.
Dan diperbolehkan bagi wanita menggunakan rebana pada hari raya, pernikahan,
dan kegembiraan
Al-Khattabi (wafat 388 H) berkata :"(Telah jelas dalam riwayat ini bahwa
keduanya tidak bernyanyi dengan nyanyian yang tidak sopan. Dan nyanyian yang
dijadikan sebagai profesi dan kebiasaan, itu tidak pantas untuk dilakukan di
hadapan Rasulullah - shallallahu 'alaihi wa sallam -. Namun, bernyanyi dengan
syair dan memperindah suara dengan itu, yang tidak mengandung kata-kata yang
tidak sopan atau larangan, itu tidak termasuk dalam hal yang dapat menurunkan
martabat atau merusak kesaksian. Dan Umar bin Al-Khattab tidak melarang nyanyian
yang berupa nashib , hadha', dan semacamnya dari ucapan, dan telah dirukhsati
oleh banyak dari salaf - semoga Allah merahmati mereka -)”.
Dan hukum dari sedikit nyanyian berbeda dengan hukum dari
banyak nyanyian, seperti mengatakan syair yang sedikit itu diperbolehkan, dan
banyaknya sehingga disebut sebagai penyair yang tidak disukai.
Yang dimaksud dengan nyanyian di sini bukanlah nyanyian yang
diharamkan yang dikenal di zaman kita dengan alat-alat musik dan lagu-lagu, itu
diharamkan dengan kesepakatan ulama. Namun, yang dimaksud adalah apa yang
dikenal dengan lagu-lagu atau nasyid dan hadha', itu termasuk dalam hal yang disebut
sebagai nyanyian secara bahasa. Bersambung.......................
Komentar
Posting Komentar