Kapal Pecah

 





Dulu aku pernah hidup seperti pemalas. Rumahku hanya sesekali saja bersih. Bajuku, baju suamiku, baju anak-anakku berserakan di mana-mana. Tempat sayur sisa kemaren ada di pojok sana, tempat sampah basah ada di ruang tamu. Belum lagi pernak-pernik segala macam berserakan di atas tikar buat nonton tv, belum lagi cucian piring yang terbiasa menumpuk dan mencucinya bagaikan hukuman berat bagiku, yaa salaam. Rumahku seperti kapal di tengah lautan terhantam ombak dan berantakan. Aku tidak tahu persis kondisiku saat itu, entah pemalas, stres, atau apa, aku bahkan tidak memahaminya.


Tapi, waktu terus berjalan, dan aku masih mencari jawaban tentang apa yang membuatku bisa melewati masa-masa itu. Apakah itu karena perubahan dalam diriku, atau karena dukungan dari orang-orang di sekitarku? Aku masih tidak tahu, tapi yang pasti, aku telah melewati masa-masa itu dan sekarang aku bisa melihatnya dari perspektif yang berbeda.


Hari-hari itu telah berlalu, minggu-minggu yang menekan, bulan-bulan pengharapan, dan tahun-tahun yang melelahkan. Aku berdiri di depan rumah teman lamaku. Hari-hari merawat ibuku kadang membuatku bosan di rumah karena aku terbiasa mobile sekarang. Saat teman lamaku menelepon aku langsung meluncur ke rumahnya. Sekalian curhat katanya. Bau sayur kemarin menusuk hidungku. Aku dipersilahkan masuk. Teman lamaku bak Naruto dengan jurus seribu bayangan membereskan baju-baju berserakan, tempat sayur bau, dan juga tangannya memegang sapu seperti senjata mau berperang.


"Duduk saja Wen," kataku pada teman lamaku Weni. Weni dulu gadis yang bersih dan cantik. Setelah menikah dan punya anak, dia kurang mengurus tubuhnya. Aku tidak tahu kenapa dia seperti itu. Mungkin karena kelelahan, mungkin karena tidak ada waktu, atau mungkin karena dia sudah tidak peduli lagi dengan penampilannya.


Pikiranku melayang ke rumah di kehidupan lamaku. Persis seperti rumah Weni sekarang. Bahkan berantakannya rumah Weni lebih ekstrem. "Kamu apa kabar..." teriak Weni dari dapur. Aku diam saja, sebenarnya aku tidak suka berteriak ketika ngobrol, tapi Weni juga diam jadi aku meneriakinya "Aku baik, sini Wen ga usah repot-repot" kataku membalasnya. Weni tergopoh-gopoh menghampiriku bersama 2 gelas teh panas.


Tanpa aba-aba, dia menceritakan tentang kedua orang tuanya yang hidup bersama, tentang anak-anaknya, tentang adik-adiknya. Rona wajahnya penuh aura kenegatifan. Tidak ada raut wajah berseri dan sumringah. Dadanya naik turun bercerita penuh emosi. Hatiku mengembara, mengingat diriku yang tidak pernah memiliki tempat untuk menumpahkan keluh kesah. Andai tempat itu ada, mungkin aku juga akan seperti Weni bercerita dengan wajah rusuh dan dada naik turun menahan emosi yang hendak membludag.


Aku melihat tumpukan barang-barang di rumah Weni, dan aku tidak bisa tidak berpikir tentang bagaimana orang-orang bisa menumpuk barang-barang tidak berguna di rumahnya. Apakah karena mereka tidak ingin membuang kenangan, atau karena mereka tidak tahu cara mengatur barang-barang dengan baik? Aku tidak tahu, tapi yang pasti, aku merasa kasihan pada Weni yang harus hidup di rumah yang berantakan.

Weni terus membersihkan rumahnya, mungkin dia pikir aku risih melihatnya, dan aku memang risih melihatnya.Aku turun tangan membantunya sambil mengajak Weni ngobrol supaya tidak tersinggung aku ikut membantu membersihkan rumahnya.Weni terus bercerita dengan emosi tentang hidupnya, keluarganya, suaminya dan keruwetan rumah tangganya.Tak ada cerita tentang kemauan dan cita cita atau apalah itu yang akan membuat bahagia.Eh tapi aku tak melihat seorangpun di rumah Weni, apakah mereka semua sedang pergi? Oleh karenanya Weni memintaku datang untuk curhat? Mumpung rumah sepi? Mungkin.


"Kamu kerja apa Wen sekarang?" tanyaku mengalihkan emosinya. Aku tidak tahan melihatnya. Weni tersenyum sedikit dan berkata, "Aku baru saja memulai bisnis online. Aku ingin mencari penghasilan tambahan untuk keluarga." Aku tersenyum dan berkata, "Wah, itu ide yang bagus! Aku bisa membantu kamu jika kamu butuh."

Rumah Weni ahirnya bersih juga.Itu tidak butuh waktu lama.Membersihkan rumah berantakan sebenarnya hanya butuh sedikit waktu, tetapi seringkali kemalasan kita mengalahkan segalanya."Mager" seperti sebuah kata sihir yang dipakai untuk alasan agar orang tidak bergerak.Dan itu seperti kata yang berlebel "halal", sehingga banyak pekerjaan yang butuh gerak menjadi terbengkelai.


Rumahku dulu seperti kapal yang karam, penuh dengan barang-barang yang berserakan dan debu yang menumpuk. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa hidup seperti itu, tapi aku yakin banyak dari kalian juga merasakan hal yang sama. Rumah yang berantakan, penuh dengan tumpukan barang yang tidak berguna, dan rasa malas yang menghantui dan kita jadi hantu di rumah kita sendiri. Serem.  Tapi aku ingin menyampaikan sesuatu kepada kalian, para pemilik rumah yang berantakan. Janganlah kalian merasa bersalah atau malu karena rumah kalian berantakan. Karena aku juga pernah seperti itu, dan aku tahu betapa sulitnya untuk mengubahnya. Tapi aku juga ingin menyampaikan bahwa ada harapan! Dengan sedikit usaha dan perubahan kecil, kita bisa membuat rumah kita menjadi lebih bersih dan lebih nyaman. Jadi, mari kita mulai dari sekarang! ?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Anakku, Ampuni Ibumu

Silabus Al Muyassar

Iri