Resign
Langit pagi di kota kecil ini selalu berwarna biru muda, seperti kain batik yang baru dicelup, lembut dan tak pernah terlalu terang. Aku menarik napas dalam-dalam di beranda rumah ibuku, aroma teh tubruk bercampur embun. Tiga bulan lalu, aku masih terjebak di antara tumpukan modul ajar, dering telepon kantor, dan wajah-wajah yang pura-pura tersenyum. Kini, tanganku hanya memegang cangkir hangat dan jari-jari ibu yang kini lebih dingin dari biasanya. “Aku resign, Bu,” kataku malam itu, suara bergetar seperti daun kering. Ibu hanya mengangguk, matanya berkaca. “Kamu sudah lama lupa cara tersenyum, Nak.” Pagi berikutnya, aku mengemas hidupku dalam dua koper tua. Kota besar kutinggalkan dengan kereta malam, lampu-lampunya berkedip seperti perpisahan yang tak ingin kuingat. Di stasiun kecil dekat rumah ibu, aku turun dengan pakaian kusut dan hati penuh debu. Tapi udara di sini lain—lebih ringan, seperti biru muda yang menyelimuti langit. Hari-hari pertama, aku belajar lagi cara hidup....